Minggu, 20 Oktober 2013
GEREJA: MUTU ROMBENG HARGA SELANGIT?!
Filipi 4:2-9
Oleh: Pdt.Kristinus Unting, M.Div
Saya
tidak tahu andai kata suatu saat anda ditawarkan sebuah barang dengan
mutu rombeng tapi dengan harga yang selangit. Harga sama, bahkan lebih
mahal dari barang berkualitas. Anda berminat? Oh…oh…oh…! Bukankah yang
rasional pada umumnya bahwa yang rombeng, barang bekas, lebih murah dari
yang berkualitas? Bukankah wajar bila yang berkualitas lebih mahal dari
yang rombeng? Dapatkah anda bayangkan bila orang berkelas, koq memakai
baran rombeng? Gengsi dong? Di sisi lain, demikian pun para penjaja
barang, tentu bersaing untuk menampilkan barang-barang terabik mereka
dengan tujuan agar nilai jual melambung tinggi! Itu wajar semata! Dengan
mutu berkualitas si pembeli pun merasa puas, berapa pun harganya akan
dibayar walau isi dompet habis terkuras!
Oh,
saudara…. Bukan hanya di dunia bisnis, tetapi hampir di berbagai
aktivitas kehidupan prisif ini berlaku. Lihat saja di sekolah-sekolah,
bukankan para murid yang akan diterima harus memenuhi standar tertentu?
Bukankan itu juga menyangkut kualitas? Mau jadi CPNS? Oh, anda juga
pasti di tes! Bukankah itu juga artinya masalah kualitas? Lalu tentang
gereja? Apakah menurut saudara tidak hubungannya dengan masalah
kualitas? Bukankah sering kita dengar orang menuntut pelayanan yang
berkualitas? Khotbah yang berkualitas, ibadah yang berkualitas, ya
pokoknya yang serba oke, serba berkualitas? Tidak heran bila banyak juga
gereja melakukan berbagai renovasi maupun pembenahan di berbagai
bidang, baik dari sarana pisik, sarana penunjang, bentuk ibadah ,
strategi, keuangan, hingga soal teologis. Sebab, bila tidak menarik,
siapa yang tertarik?
Siapa
yang tertarik, bila misalkan para pengurusnya sendiri gontok-gontokan?
Bagaimana mungkin Gereja menyaksikan kebenaran Injil Kristus di tengah
dunia, bila fakta menunjukkan bahwa di dalamnya sendiri terjadi konflik?
Bagaimana kehidupan persekutuan dapat teratur, bila orang-orang yang
seharusnya jadi pengatur malah cenderung susah diatur? Bagaimana mungkin
warga jemaat mendengarkan kebenaran firman dan bersatu bila yang
seharusnya menjadi panutan, justru menjadi pemicu konflik dan
perpecahan? Akibatnya tentu saja pertumbuhan jemaat menjadi terhambat.
Sebagai sesama anggota tubuh Kristus yang percaya akan pemerintahan
Kristus atas Gereja-Nya, konflik tidak semestinya terjadi. Tapi di
sinilah titik persoalannya. Apa itu? Apalagi kalau bukan kurangnya rasa
rendah hati dan semangat bersekutu dalam jemaat.
Seorang
wartawan pernah bertanya kepada penginjil ternana D.L. Moody, orang
mana yang memberi kesulitan paling besar dalam pelayanannya. Moody
menjawab seketika, "Saya mempunyai kesulitan paling banyak dengan D.L.
Moody dibandingkan dengan orang-orang mana pun yang masih hidup."
Pernyataan Moody menggarisbawahi bahwa problem terbesar kita ternyata
bukanlah setan dan anak buahnya. Mereka sudah dikalahkan oleh Tuhan
Yesus di kayu salib. Problem terbesar kita tidak lain adalah diri
sendiri. Sekalipun kita sudah percaya kepada Yesus, sifat kedagingan
manusia yang berpusat pada diri sendiri dan egois itu masih melekat.
Keakuan bahkan sering masih sangat kuat. Ketidakserasian hubungan,
apalagi itu terjadi di antara para aktivis seperti Euodia dan Sintikhe,
adalah hal yang tidak baik dibiarkan. Kita perlu waspada jika ada
kecenderungan untuk mati-matian menjunjung gengsi.
Kita
perlu waspada jika selalu berusaha keras agar setiap orang menghormati
kita dan tidak ada yang meremehkan kita. Karena tanpa kita sadari, sikap
semacam itu malah memperkuat keangkuhan dan kesombongan. Sederet
masalah lain akan mengikutinya, seperti tidak mau ditegur, tidak mau
mengampuni, dan merasa diri paling benar. Inilah keakuan yang perlu kita
taklukan di dalam kehidupan kita. Inilah kondisi yang perlu kita
waspadai agar tidak membelenggu hati kita. Sebelum orang bisa sepikir
didalam Tuhan, maka sehati dan setujuan tentu tak pernah terwujud
menjadi kenyataan!
Seperti
juga yang kita ketahui, Mahatma Gandhi sendiri tidak pernah menjadi
orang kristiani. Apa penyebabnya? Ya, tentu saja kalau bukan dari apa
yang dilihatnya bahwa kehidupan Kristen itu justru tidak lebih baik dari
yang lain. Bahkan ia pernah membuat pernyataan bahwa kita, para
pengikut Yesus, seharusnya memikirkan hidup dengan baik. Ketika diminta
untuk menyampaikan pesan pendek, ia menjawab, “Hidupku adalah
kesaksianku.” Oh…oh…oh…! Rupanya kita juga perlu diajar atau belajar
dari yang diluar kekristenan? Ya, itu perlu! Tak perlu malu-malu! Kita
perlu rendah hati mengkoreksi diri seperti yang diungkapkan oleh Gandhi
tersebut. Bila cara hidup kekristenan tidak jauh lebih baik dari yang
lain, siapa yang tertarik? Sebagai Gereja atau selaku orang percaya,
kita memang perlu menjelaskan pesan Injil sejelas mungkin. Namun,
penjelasan yang paling jelas sekalipun tidak akan memenangkan hati
banyak orang, bila kasih Kristus tidak menyatu dalam hidup kita terlebih
dahulu.
Dalam
nas ini Paulus menyampaikan sekaligus mengingatkan visi pelayanan
Gereja, bahwa Injil Kristus yang kita perjuangkan adalah Injil yang di
dalamnya ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada
kasih mesra, dan belas kasihan. Rupanya di jemaat Filipi juga terjadi
konflik, malah konflik antar pengurus Gereja. Orang-orang terpandang di
persekutuan, antara Euodia dan Sintikhe. Euodia dan Sintikhe adalah dua
orang perempuan yang terlibat dalam jemaat dan menjabat sebagai Diaken.
Rupanya di antara keduanya sering terjadi perselisihan yang
dikhawatirkan akan merusak persekutuan di antara anggota jemaat di
Filipi. oh, ironis memang. Semoga hal yang demikian tidak terjadi di
tempat Anda.
Paulus
meminta kepada mereka untuk menunjukan sikap rendah hati dan juga
kepada semua pihak yang terkait dengan perselisihan kedua perempuan
tersebut agar segera menyelesaikan persoalan yang ada. Sikap
mementingkan diri sendiri, acuh tak acuh, angkuh, yang hanya akan
mendatangkan perpecahan, pertikaian, pertengkaran, perceraian, dlsb.
Singkirkanlah itu! Ketidakcocokan ajaran, konflik antar pemimpin,
pertikaian antar ras, pertentangan konsep, dlsb. tidak jarang
mengakibatkan warga jemaat jadi kocar-kacir, kebingungan mencari ajaran
yang paling pasti, yang paling benar, dan yang paling teratur.
Dalam
dunia ini perbedaan pendapat pasti selalu ada, bukan barang baru. Kalau
ada 10 kepala, biasanya juga akan ada 10 pemikiran. Banyak hal yang
bisa membuat perbedaan pikiran atau pendapat. Biasanya hal itu terjadi
karena perbedaan pandangan. Yang satu barangkali berpikir begini, yang
lain barangkali begitu. Yang satu berpikir dari sudut pandang rohani,
yang lain mungkin dari sudut pandang jasmani. Atau bisa jadi karena
perbedaan tradisi, golongan, pendidikan, kepentingan dll. Masalah memang
selalu ada. Beda pandangan memang selalu kita hadapi dimana saja. Dalam
keluarga, di kantor, di organisasi, bahkan juga dalam persekutuan.
Masalah bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dihadapi dan diselesaikan.
Jadi, mengapa harus takut menghadapi sebuah perbedaan kalau justru
perbedaan itu akan membuat kita menjadi seseorang yang lebih baik untuk
sebuah kebersamaan? Hanya saja, bersikaplah cerdas, jangan sampai
masalah yang kecil justru menimbulkan masalah yang lebih besar lagi.
Jika
perilaku tidak selaras dengan pengakuan iman, maka ketidakselarasan itu
akan menghapuskan kesaksian Injil yang kita sampaikan. Untuk membangun
keserasian atau keharmonisan tentu dibutuhkan keterbukaan pribadi untuk
sehati sepikir dalam Tuhan Yesus Kristus. Apa dasarnya? Ya, tentu saja
seperti kata nasihat Rasul Paulus, milikilah “damai sejahtera Kristus yg
melampaui akal untuk memelihara hati dan pikiran” (ay.7). Ya, hanya
dengan demikian orang dapat mengungkapkan kebaikan hatinya dalam
berbagai aktivitas tindakan. Itulah dasar orang dapat menaikan syukur.
Itulah kunci melalui mana orang dapat berpikir positif, hidup rendah
hati, sehati dan setujuan! Ya, itulah kehidupan gereja yang tentu Allah
berkenan. Kehidupan persekutuan yang berkualitas. Gereja dengan
kesaksian kehidupan yang menarik. Membuat banyak yang tertarik. Bukan
sebaliknya, ibarat mutu rombeng harga selangit! Amin!
Diposkan Oleh Admin Renungan Harian Almanak Nas GKE